Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah :
Sebuah Identitas Bangsa
Indonesia
adalah negara yang kaya. Tidak hanya
dari sumber daya alam yang melimpah, tapi juga melalui sebuah kebiasaan
masyarakat yang terbentuk menjadi sebuah budaya, yang tersebar di 17.000 pulau dari Sabang sampai Merauke.
Tidak terkecuali bahasa yang begitu beragam. Saat ini, berdasarkan laporan hasil
penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa di Indonesia yang dilakukan
oleh Badan Bahasa tahun 2008, telah berhasil diidentifikasi 442 bahasa, dan
hingga tahun 2011 telah terjadi penambahan sebanyak 70 bahasa yang membuat
kesuluruhan mencapai 514 bahasa. Jumlah tersebut sendiri belum pasti, karena
masih ada beberapa daerah yang belum diteliti. Pada situasi multilingual ini, kontak bahasa
menghasilkan saling serap antara unsur bahasa yang satu ke bahasa yang lain.
Sehingga berpengaruh pula pada bahasa nasional yang mempersatukan kita sampai
pada saat ini, yakni bahasa Indonesia.
Eksistensi
bahasa daerah ini tentu saja memberikan kontribusi besar dalam bahasa Indonesia
sendiri, karena banyak sekali konsep yang berasal dari bahasa daerah yang diserap
ke dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, bahasa daerah yang luar biasa
jumlahnya tersebut memperkaya bahasa Indonesia. Dalam konteks persatuan, bahasa
daerah yang diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi tolak ukur dan secara tak langsung menumbuhkan rasa
memiliki bahasa.
Namun,
akhir-akhir ini, kecintaan kita terhadap bahasa semakin memudar seiring dengan
pesatnya perkembangan teknologi dan globalisasi. Hal ini sudah menjadi satu
paket utuh. Salah satu indikator yang mendukung hal ini adalah pengamatan
seorang budayawan yang mendapatkan penghargaan dari the habibie centre tahun 2009, Ajip Rosidi, menyatakan bahwa setiap
tahunnya bahasa daerah berkurang tanpa kita sadari. Efeknya dapat meluas tidak
hanya bahasa daerah tertentu, tapi juga pada bahasa nasional yang satu, Bahasa
Indonesia. Belum lagi berita Tempo Interaktif tanggal 4 september 2007 yang
mengemukakan bahwa 10 bahasa daerah di indonesia telah punah. Lalu ditambah
oleh pendapat pakar Universitas Sebelas Maret Solo, Prof. Dr. H. Edi Subroto, bahwa
beratus-ratu bahasa daerah di indonesia rawan punah. Padahal, bahasa merupakan
salah satu indentitas yang membuat kita utuh sebagai suatu bangsa, lalu mengapa
rasa cinta ini perlahan memudar?
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi
yang mempunyai makna. Terlepas dari hal tersebut, Wibowo mengemukakan bahwa
bahasa adalah sistem simbol bunyi yang bermakna dan berartikulasi yang bersifat
arbiter dan konvensional yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok
manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Abdul Chaer mengemukakan bahwa
bahasa merupakan suatu sistem, bahasa adalah fenomena yang mengubungkan dunia
makna dengan bunyi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa bahasa adalah salah satu alat komunikasi yang bermakna,
langsung dan sifatnya menghubungkan manusia yng satu dengan manusia yang
lainnya untuk saling berinteraksi.
Bahasa
Indonesia sesuai dengan pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 adalah bahasa resmi
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, sesuai dengan Sumpah Pemuda
tanggal 28 oktober 1928, Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan rakyat
Indonesia. Sedangkan, bahasa daerah dalam seminar Politik Bahasa (2003) adalah
bahasa yang dipakai sebagai perhubungan intradaerah atau intramasyarakat disamping
bahasa Indonesia dan yang dipakai sebagai sarana pendukung sastra serta budaya
daerah atau masyarakat etnik di wilayah Republik Indonesia. Dapat pula dimaknai
sebagai suatu bahasa yang diututurkan dalam suatu wilayah dalam suatu negara
kebangsaan, baik itu daerah kecil, ataupun daerah yang lebih luas. Hal ini
disempurnakan lagi dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 yang menyatakan
bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun temurun oleh
warga negara Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masing-masing
dari hal tersebut, memiliki fungsi yang jelas. Misalnya, Bahasa Indonesia
berfungsi sebagai alat komunikasi, adaptasi dan integrasi dalam lingkungan
sekitar. Lalu, bahasa daerah sebagai peranan berkelanjutan dari masa lalu
sebagai warisan leluhur dan penanda identitas kedaerahan. Bahasa Indonesia dan
bahasa daerah, seperti yang telah disebutkan di awal, memiliki hubungan dan
saling terikat. Bahasa daerah adalah pendukung, pelengkap dan memperkaya bahasa
nasional.
Lantas
dengan pengertian dan hal yang jelas tersebut, kenapa khasanah bahasa mulai
memudar? Padahal begitu banyak hal yang bisa menjadi cerminan bangsa kita,
bahkan hanya sekedar dari aspek bahasa, baik itu bahasa daerah maupun bahasa
nasional.
Ada
banyak faktor yang bisa mendasari hal ini. Secara garis besar, penuli menarik
fakta bahwa ketidakpedulian masyarakat yang terlena pada arus globalisasi (dan
tentu saja, kehilangan kemampuannya sebagai seorang local genius—kemampuan
individu untuk memfilter sesuatu yang baru dan menyesuaikannya dengan budaya
sendiri) telah meniadakan unsur paling penting dalam penghidupan dan
pelestarian bahasa, yakni subjek yang ingin berusaha.
Dalam
hal ini, ideologi bahasa Indonesia harus bertarung dengan tantangan
internasionalisme tersebut untuk menegakkan eksistensinya mengintegrasikan
bahasa persatuan, utamanya dalam meningkatkan keterampilan berbahasa karena
pendidikan bahasa di negara Indonesia sendiri lebih menitik beratkan pada
bidang linguistik sehingga bahasa
hanya dipandang sebagai subtansi semata.
Contoh
sederhana dari hal tersebut adalah Teknologi Short Message Service (SMS) atau layanan pesan singkat. Dalam
konteks teknologi dan ekonomi,
penggunaan SMS sangat menguntungkan, namun jika dikaitkan dengan
kebahasaan, bahasa SMS telah merusak kaidah bahasa dan tata bahasa. Bukan
masalah sebenarnya tidak menggunakan tata bahasa, selama hal tersebut
dimengerti, tapi hal itu juga perlu disertai dengan keberadaan situasi dan
kondisi individu bersangkutan. Berusaha untuk menulis lengkap dan tidak terlalu
menyingkat perlu dibiasakan, demi pengembangan dan pemeliharaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa Nasional.
Contoh
lainnya ialah akademisi yang membuat penelitian dengan mencampur aduk bahasa
asing dan bahasa Indonesia dengan dalih tidak ada padanannya. Padahal, dengan
adanya bidang teknologi informatika telah disusun acuan berbahasa Indonesia.
Ada lagi yang berdalih tampak hebat dengan penggunaan bahasa asing dalam setiap
ucapan. Hal ini tentu saja kurang etis, mengingat orang yang benar-benar hebat
adalah orang yang mampu menempatkan kata-katanya dengan tepat sasaran, tidak
lebih, tidak kurang.
Bukan
hal yang tidak baik apabila kita berusaha mempelajari bahasa asing, tapi kita
perlu mengingat handai taulan dan negara yang menjadi tempat kita besar. Bahasa
asing itu perlu, tapi jangan sampai menggantikan betapa penting nya bahasa
daerah dan bahasa Nasional yang menjadi salah satu identitas kita sebagai
seorang rakyat Indonesia.
Faktanya,
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar utamanya dalam dunia pendidikan
Indonesia. Namun dalam realitanya, pengguna sering mengabaikan aturan. Tidak
hanya masyarakat umum, juga kaum intelektual. Contoh sederhana, pemakaian huruf
kapital dan tanda baca, juga pemaknaan yang kurang tepat. Jika bahasa yang
mempersatukan saja sudah memiliki ambiguitas tinggi, bagaimana kepribadian
kita? Bukankah semakin melenceng kearah yang tidak baik?
Prof.
Dr. Benny Hoedoro Hoed, pakar bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, dalam sebuah diskusi di Lembaga Pers Dr. Soetomo, Jalan
Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat(23/10) mengatakan bahwa Bahasa Indonesia
sangatlah penting dalam kehidupan bernegara. Menurutnya, bahasa baku memiliki
fungsi mempersatukan negara Indonesia yang terdri dari berbagai bahasa daerah.
Bahasa Indonesia baku diperlukan untuk memperlancar atau memfasilitasi
komunikasi pada tataran nasional.
Apa
yang terjadi di Indonesia ini termasuk hal istimewa dibanding beberapa negara
lain yang mengalami kesulitan menetapkan bahasa persatuan. Di India ada bahasa
Hindi dan Inggris, di Belgia menggunakan bahasa Belanda dan Perancis. Lalu ada
tiga bahasa yang dipakai di Swiss, yakni Italia, Perancis, dan Jerman. Kanada
ada bahasa Inggris dan perancis.
Selain
dampaknya pada bahasa nasional, ada pula dampak lain yang mengancam bahasa
daerah. Seiring dengan hilangnya bahasa nasional yang tepat, tergantikan dengan
bahasa luar, bahasa daerah juga perlahan-lahan akan punah, menghuni museum
seperti benda peninggalan purbakala.
Faktor
yang membuat terlupakannya bahasa daerah adalah sedikitnya jumlah penutur yang
menggunakan bahasa tersebut. Lalu, hal lain yang mempengaruhi adalah kekerapan
penggunaan kosakata oleh wartawan, penulis, sastrawan, tokoh politik, dan
ketersediaan konsep baru pada kosakata daerah yang tidak dimiliki bahasa
Indonesia.
Bahasa
daerah sendiri juga memiliki perbedaan makna di satu daerah dengan daerah yang
lainnya. Maka adalah bahasa indonesia sebagai pemersatunya. Sehingga tidak
menimbulkan konflik horizontal didalam masyarakat. Maka itu, bahasa Indonesia
perlu dijunjung tinggi, karena hal ini, jika tdak digunakan secara tepat, dapat
mempengaruhi hingga kedalam kesatuan bangsa dan negara.
Maka
kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia harus selalu memelihara bahasa
Indonesia, bahasa Negara kita. Dengan sering menggunakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar, walaupun saat ini dunia mengalami globalisasi namun kita tidak
boleh meninggalkan identitas. Tidak ada yang mau jika salah satu komponen
penting Negara menghilang begitu saja bukan? Untuk melakukan itu kita perlu
melakukannya dari diri kita sendiri.